'Haruskah kuakhiri saja.'
Mataku mendelik melihat status ter-update dari bapak di WA pagi ini. Tumben galau, apanya yang harus diakhiri?
Apa Bapak mau mengakhiri hubungan dengan seseorang. Siapa? Jangan-jangan janda kontrakan sebelah yang baru bercerai dari suaminya tiga bulan lalu. Wah, kalau iya cepat benar move on-nya. Tapi sepertinya gak mungkin, kalau memang ada hubungan khusus dengan pemilik tubuh bahenol itu, harusnya gampang terendus olehku. Secara ponsel bapak selalu berada dalam pengawasanku.
Bukannya aku gak menghargai privasi Bapak. Tapi sejak kematian Ibuk tiga tahun lalu, aku jadi lebih selektif dalam memilih siapapun wanita yang mencoba mendekati Bapak beserta modus-modusnya.
Lantas mengakhiri apa lagi? Mungkinkah ingin mengakhiri kesendirian karena sudah lama menduda? Lalu calonnya siapa? Apa jangan-jangan ada yang diam-diam menjodohkan Bapak dengan seseorang yang belum diketahui identitasnya, ciri-cirinya juga jenis kelaminnya. Nah, wajib dipertanyakan.
Namun, seumur-umur ini kali pertama Bapak membuat status galau. Sebagai anak satu-satunya aku kan jadi ikut galau juga. Duh, apanya sih yang harus diakhiri?
Mungkinkah ingin mengakhiri ... hidup?
Enggak, enggak. Bapak gak mungkin senekat itu. Walaupun dia sangat mencintai mendiang istrinya, gak mungkin punya pikiran sesempit itu.
"Bapak!"
Aku memekik waktu melihat lelaki berpeci hitam itu melintas di balik jendela kaca samping rumah, sambil membawa tali tambang.
Gawat!
Aku berlari mengejarnya, sampai di halaman belakang aku melihat Bapak tengah melilitkan tali tambang di salah satu dahan pohon sawo.
"Pak, jangan lakukan itu! Dosa, Pak. Nyebut, Pak. Lala gak mau jadi anak yatim piatu." Aku meraung-raung di bawah pohon, memohon agar Bapak mengurungkan niatnya.
"Woy, Lala! Ngapain lu nangis guling-guling di bawah pohon?" tanya Bapak yang lagi santuy duduk di salah satu dahan besar.
"Bapak mau bunuh diri, kan?"
"Bunuh diri apaan? Enak aja, bapak masih mau kawin lagi biar ada yang ngurusin kamu sama bapak."
"Terus tali itu buat apaan?"
"Tolong kamu ikatkan ujung tali itu ke ember di sampingmu, ya. Biar bapak tarik dari atas buat wadah sawo yang mau bapak panen."
Yaelah, ternyata.
***
"Terus, maksud status Bapak itu apa?" tanyaku, meminta klarifikasi usai pria hitam manis itu menyelesaikan panen buah sawo.
"Bapak ingin mengakhiri jabatan ketua RT."
"Loh, kenapa?"
"Karena gak selamanya jadi pejabat itu enak. Baru beberapa bulan pelantikan, eh sudah disindir-sindir soal pengecoran jalan kampung yang belum merata. Ada lagi warga baru yang ngamuk-ngamuk gak mau bayar iuran bulanan untuk kegiatan lingkungan. Katanya nambah-nambahin pengeluaran aja. Yang lebih edan lagi, dalam sehari ini bapak dapat lima undangan hajatan di tempat berbeda. Bayangkan! Berapa isi amplop yang harus bapak keluarkan?"
"Iya juga, pantesan Bapak mumet. Tapi gak perlu mengundurkan diri juga kali, Pak. Lala butuh jabatan Bapak untuk pedekate sama anak Pak Lurah. Eh!"
"Heleh, modus!"
Aku cekikikan.
"Satu lagi, wanita-wanita single di kampung ini pada rame-rame bikin status. Masa Pak RT kita enggak ada Bu RT-nya. Kalau mereka minta dilamar semua bagaimana?"
Krik, krik.