Buku ini berusaha menyajikan pembahasan gunung berdasarkan konteks ketuhanan, sejarah, budaya, bentang alam, hingga hubungannya dengan ekologi.
Melalui buku ini, penulis mengajak pembaca untuk tidak hanya sekadar mendaki ketinggian pengetahuan gunung, melainkan juga menyelami kedalaman kebijaksanaan gunung.
Teologi Gunung
Pada bagian โteologi gunungโ, dalam buku ini dipaparkan pembahasan tentang gunung yang disebutkan sebanyak 60 kali dalam alquran, penyebutan tersebut mewakili keberadaan manusia sebelum diturunkan ke muka bumi, mewakili keberadaan manusia ketika hidup di muka bumi, dan mewakili akhir keberadaan manusia di muka bumi (kiamat).
Pada bagian ini dipaparkan pula bahwa Nabi Muhammad SAW juga merupakan โpendaki gunungโ, ia mendaki dalam konteks tahannuts; mendaki untuk merenungkan setiap persoalan dan mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ilahiah, ia kemudian mendapatkan pencerahan di Gunung Hira (642 Mdpl [?]), dan setelah itu ia kemudian โturun gunungโ untuk mengamalkannya apa yang ditemukannya, ke tengah masyarakat.
Catatan Peziarah & Pendaki
Bagian ini menceritakan sejarah โbackpackerโ, โtravelingโ dan kisah-kisah yang identik dengan petualangan, khususnya terkait gunung. Dalam kultur Timur, salah satu catatan budaya bertualang bisa ditemukan pada naskah โbujangga manik" di sekitar abad ke XV, sedangkan catatan eropa yang dijadikan pembahasan merujuk pada buku โbergenweeldeโ yang ditulis C.W Wormser awal abad ke XX (1890-1900).
Gunung Para Petapa
Jika Rosul pergi ke gunung untuk melakukan tahannuts, di Timur peristiwa tersebut disebut tapabrata, jika Nabi kemudian mengamalkan temuannya di gunung pada masyarakat, di Timur beberapa sosok berakhir dengan moksa, ngahiang, โabadiโ di gunung-gunung.
Maka, gunung pada bagian ini dikenal juga sebagi tempat yang identik dengan para petapa.
Bagian ini membahas gunung Bandung yang dijadikan pertapaan Bujangga Manik sebelum akhirnya ngahiang di tempat lain. Gunung yang sakral sebagai tempat bertapa tersebut kondisinya hari ini begitu sangat memperihatinkan, bahkan kerusakannya telah menyentuh bagian puncak.
700 Gunung Bandung
Gunung dalam bahasa Sunda merupakan konsep tentang โunggul - unggulanโ, dalam bahasa Indonesia kurang lebih berarti โkhususโ, merujuk pada sesuatu hal yang โspesialโ, โmenonjolโ dalam arti memiliki keunggulan atau kelebihan.
Dalam bahasa populer โunggul - unggulanโ disebut โprominenโ asal kata dari โprominenceโ, dan dalam bahasa Sunda setiap โprominenโ diklasifikasikan pada dua hal, yakni; โgunungโ dan โpasirโ, secara umum (dan pragmatis) tidak dikenal istilah โbukitโ. Merujuk pada konsep prominen, di bandung melalui telaah yang dilakukan komunitas JGB ditemukan kemungkinan jumlah 700 dengan kecenderungan merujuk pada konsep โgunungโ.
Mandala Rakutak
Gunung Rakutak merupakan gunung yang belakangan berhenti dikunjungi karena statusnya cagar alam. Berhenti mendaki gunung adalah hal mudah bagi siapa pun yang menyatakan dirinya โpencinta kelestarian alamโ. Sebab jika berhenti mendaki merupakan bagian dari proses melestarikan alam, sungguh โberhentiโ merupakan tindakan yang paling sederhana dari kata โberbuat banyakโ.
Gunung Rakutak spesial karena secara histori banyak kisah melekat pada dirinya, sebut saja misalnya peristiwa โpagar betisโ, di mana seorang kawan Soekarno pada akhirnya memilih โmenyerahโ dalam pertarungan ideologi di masa awal kelahiran Negara bernama โIndonesiaโ ini.
Mitos Aul
Bagian ini membahas keberadaan manusia berkepala serigala di gunung bandung yang โpernahโ menjadi penjaga kelestarian alam. Ia menjaga sumber-sumber mata air, menjaga keutuhan hutan di gunung-gunung, serta mendisiplinkan masyarakat yang hidup di sekitarnya untuk tidak merusak alam.
Sosok manusia berkepala serigala ini banyak ditemukan di hampir setiap bagian arah mata angin gunung di bandung raya, khususnya bagian selatan, timur dan barat.
Gunung Artefak Nusantara
Jauh sebelum disebut โnusantaraโ, kepulauan Indonesia lampau dikenal dengan nama โnusakendengโ. Nusantara merujuk pada konsep kepulauan yang identik dengan laut, sedangkan Nusakendeng merujuk pada konsep daratan yang identik dengan gunung.
Catatan Nusakendeng relatif sulit ditemukan, kecuali kode-kode dari kidung pantun Sunda dan catatan Eropa seperti; Raffles dan Jonathan Rigg pada awal abad XIX, serta pengetahuan masyarakat Nusantara yang terrekam dalam cara memperlakukan gunung-gunung. Bagian ini membahas sisi gunung sebagai pencatat sebuah peradaban, sebab melalui kajian tentang gunung, khususnya gunung kendeng, kita bisa menemukan peradaban lampau yang sudah mengenal jarigan gunung-gunung yang barangkali hari ini identik dengan konsep โring of fireโ.
Pepep Dw, Panulis yang memiliki perhatian pada seni - budaya, dan lingkungan hidup, khususnya pada gunung dan masyarakat gunung beserta peradabanna.