Flying High

Mizan Kaifa
5.0
αž€αžΆαžšαžœαžΆαž™αžαž˜αŸ’αž›αŸƒ 4
αžŸαŸ€αžœαž—αŸ…β€‹αž’αŸαž‘αž·αž…αžαŸ’αžšαžΌαž“αž·αž…
239
αž‘αŸ†αž–αŸαžš
αž€αžΆαžšαžœαžΆαž™αžαž˜αŸ’αž›αŸƒ αž“αž·αž„αž˜αžαž·αžœαžΆαž™αžαž˜αŸ’αž›αŸƒαž˜αž·αž“αžαŸ’αžšαžΌαžœαž”αžΆαž“αž•αŸ’αž‘αŸ€αž„αž•αŸ’αž‘αžΆαžαŸ‹αž‘αŸ αžŸαŸ’αžœαŸ‚αž„αž™αž›αŸ‹αž”αž“αŸ’αžαŸ‚αž˜

αž’αŸ†αž–αžΈαžŸαŸ€αžœαž—αŸ…β€‹αž’αŸαž‘αž·αž…αžαŸ’αžšαžΌαž“αž·αž€αž“αŸαŸ‡

Tony Fernandes, pendiri dan CEO Group salah satu maskapai terbaik di dunia, dikenal sebagai sosok yang berani mengambil sikap dan apa adanya. Ditulis dalam kurun waktu 3 tahun, buku ini mengisahkan transformasi Tony dari seorang akuntan sederhana menjadi salah satu miliarder yang diperhitungkan di Asia dan dunia saat ini.


Bagi Tony, AirAsia adalah dongeng, tak selalu menyenangkan dan punya masa gelap. Di tangannya, Tony berhasil menyulap AirAsia dari perusahaan yang semula hendak tamatβ€”dililit banyak utang, defisit hampir 1 juta USD per bulan, punya sedikit rute, dan tak jelas masa depannyaβ€”menjadi sebuah industri besar di Asia.


Inilah kisah 16 tahun perjuangan Tony melawan orang-orang yang meremehkannya hingga berhasil mewujudkan mimpinya. Dan akhirnya, pesan Tony kepada semua pemimpi di dunia sederhana saja:


Beranilah bermimpi karena sebagian impian bisa menjadi kenyataan.



Prolog


Sebuah Kotak Penuh Mimpi

Musik latar: β€œDreams” oleh The Corrs




Beberapa tahun lalu, seorang teman lamaku saat masih bersekolah dulu, Gerry Wigfield, tiba-tiba saja menghubungiku. Bahkan di ujung sambungan telepon jarak jauh pun aku bisa mendengarnya begitu bersemangat.

β€œTony, ibuku menemukan sesuatu milikmu.”

β€œApa itu, Gerry?”

β€œAh, ceritanya panjang. Aku akan memintanya mengirim barang itu kepadamu lain kali kalau kau sedang berada di London.”

Saat itu aku sedang tinggal di Kuala Lumpur selama beberapa bulan untuk urusan bisnis, jadi kuakui bahwa percakapan ini tak lama kemudian terlupakan dari benakku. Beberapa hari setelah aku tiba kembali di London

dan apartemenku di Chester Square, bel pintu berbunyi. Aku melangkah ke pintu dengan pakaian piama, tak bisa menebak siapa atau apa yang menungguku di balik pintu.

Seorang petugas pos berdiri di sana sambil membawa sebuah paket sepanjang kira-kira satu meter dan setinggi tiga puluhan sentimeter, dibungkus dengan kertas berwarna cokelat, dengan namaku tercetak rapi di

atas stiker putih. Saat dia menyerahkan kotak itu, aku bersiap memegang sesuatu yang berat, namun ternyata ringan. Aku meletakkannya di meja di koridor, menandatangani tanda terima, dan menutup pintu. Untuk

beberapa alasan, ingatan tentang panggilan telepon dari Gerry muncul di benakku dan aku pun segera menyobek kertas pembungkus paket itu.

Beberapa detik kemudian, sambil berdiri di tengah sobekan kertas cokelat, aku mulai paham. Aku sedang menatap sebuah kotak karton biru yang agak penyok dengan ujung-ujung dari kulit yang dikeraskan, gembok

dari kuningan, dan tali pengikat dari kulit di ujungnya. Itu kotakku dari masa sekolah dulu, Epsom College. Sudah tiga puluh tahun aku tak melihatnya.

Pada penutup kotak ada tiga stiker: logo West Ham United, Qantas Airways, dan tim Williams di Formula One.

Aku menjentikkan kuncinya dan mengangkat penutup kotak. Di dalamnya ada dua kaset C90: album Arrival-nya ABBA dan The Royal Scam-nya Steely Dan, beserta sebuah bungkusan berisi mi kering yang

biasa dikirim oleh ibuku dari Kuala Lumpur. Isi kotak itu membuatku gamang. Dulu aku merasa hancur. Kenangan tentang Mum, pindah ke Inggris, dan kehidupan masa sekolah membanjiri benakku.

Kotak tersebut, baik bagian dalam maupun luar, mewakili semua mimpi yang pernah kualami ketika aku sedang bertumbuh besar: aku menyukai olahraga, musik, dan pesawat terbang. Apa yang membuatku merasa meluap-luap pada saat itu adalah saat menyadari bahwa impian masa kecilku telah menjadi kenyataan.

Sejak lulus dari Epsom, aku telah mendirikan bisnis musik, bekerja sama dengan beberapa bintang pop terbesar dunia dan membawa bandband Malaysia dan Asia ke tingkat dunia.

Aku telah mengambil alih sebuah klub sepak bola Inggris dan digendong di bahu para pemainnya di Stadion Wembley setelah kami berhasil mendapatkan promosi ke liga utama.

Aku telah berdiri di garis start di Grand Prix dengan mobil Formula One-ku sendiri.

Aku telah mengambil alih sebuah maskapai penerbangan kecil dan mengubahnya

menjadi bisnis kelas internasional yang mengangkut 70 juta penumpang setiap tahunnya.

Mengubah semua impian itu menjadi kenyataanβ€”perjalanan dari menempelkan stiker pada kotak itu hingga membuka pintu untuk petugas pos sekitar tiga puluh tahun kemudianβ€”terkadang terasa begitu

menyesakkan dan meremukkan hati, namun penuh kehebohan dan kegembiraan. Perjalanan tersebut juga menorehkan kisah yang nyaris mustahil dan sungguh tak terduga.

Namun, marilah kita mulai dari awal, ketika masa kecil dan masa sekolahku tidak menunjukkan tanda-tanda semua impian itu akan menjadi kenyataan.[]


[Non Fiksi, Bisnis, Karir, Kaifa, Mizan Publishing]

αž€αžΆαžšαžŠαžΆαž€αŸ‹αž•αŸ’αž€αžΆαž™ αž“αž·αž„αž˜αžαž·αžœαžΆαž™αžαž˜αŸ’αž›αŸƒ

5.0
αž€αžΆαžšαžœαžΆαž™αžαž˜αŸ’αž›αŸƒ 4

αž’αŸ†αž–αžΈβ€‹αž’αŸ’αž“αž€αž“αž·αž–αž“αŸ’αž’

Anthony Francis Fernandes atau lebih dikenal dengan Tony Fernandes, merupakan salah satu miliarder yang diperhitungkan di Asia dan dunia saat ini. Dia adalah seorang pengusaha sukses asal Negeri Jiran. Pria yang lahir di Kuala Lumpur ini menyelesaikan pendidikannya di London School of Economics. Dia memulai kariernya di Richard Branson Virgin Communications pada pertengahan 1980-an. Setelah itu, dia sempat berkarier sebagai akuntan, lalu pindah ke London untuk bekerja di Warner Music International sebagai Managing Director Warner Malaysia sebelum merintis kariernya di maskapai AirAsia.


Atas kegigihannya meraih kesuksesan, dia mendapatkan banyak penghargaan. Di antaranya, ASEAN Entrepreneurial Excellence Award pada 2016, LΓ©gion d'honneur dari pemerintah Prancis, dan Asian Business Leaders Award 2017. Baru-baru ini, maskapai yang dipimpinnya pun mendapatkan penghargaan sebagai Best Use of Technology 2018 dalam ajang penghargaan Loyalty Awards.



αžœαžΆαž™αžαž˜αŸ’αž›αŸƒαžŸαŸ€αžœαž—αŸ…β€‹αž’αŸαž‘αž·αž…αžαŸ’αžšαžΌαž“αž·αž€αž“αŸαŸ‡

αž”αŸ’αžšαžΆαž”αŸ‹αž™αžΎαž„αž’αŸ†αž–αžΈαž€αžΆαžšαž™αž›αŸ‹αžƒαžΎαž‰αžšαž”αžŸαŸ‹αž’αŸ’αž“αž€αŸ”

αž’αžΆαž“β€‹αž–αŸαžαŸŒαž˜αžΆαž“

αž‘αžΌαžšαžŸαž–αŸ’αž‘αž†αŸ’αž›αžΆαžαžœαŸƒ αž“αž·αž„β€‹αžαŸαž”αŸ’αž›αŸαž
αžŠαŸ†αž‘αžΎαž„αž€αž˜αŸ’αž˜αžœαž·αž’αžΈ Google Play Books αžŸαž˜αŸ’αžšαžΆαž”αŸ‹ Android αž“αž·αž„ iPad/iPhone αŸ” αžœαžΆβ€‹αž’αŸ’αžœαžΎαžŸαž˜αž€αžΆαž›αž€αž˜αŸ’αž˜β€‹αžŠαŸ„αž™αžŸαŸ’αžœαŸαž™αž”αŸ’αžšαžœαžαŸ’αžαž·αž‡αžΆαž˜αž½αž™β€‹αž‚αžŽαž“αžΈβ€‹αžšαž”αžŸαŸ‹αž’αŸ’αž“αž€β€‹ αž“αž·αž„β€‹αž’αž“αž»αž‰αŸ’αž‰αžΆαžαž±αŸ’αž™β€‹αž’αŸ’αž“αž€αž’αžΆαž“αž–αŸαž›β€‹αž˜αžΆαž“αž’αŸŠαžΈαž“αž’αžΊαžŽαž·αž αž¬αž‚αŸ’αž˜αžΆαž“β€‹αž’αŸŠαžΈαž“αž’αžΊαžŽαž·αžβ€‹αž“αŸ…αž‚αŸ’αžšαž”αŸ‹αž‘αžΈαž€αž“αŸ’αž›αŸ‚αž„αŸ”
αž€αž»αŸ†αž–αŸ’αž™αžΌαž‘αŸαžšβ€‹αž™αž½αžšαžŠαŸƒ αž“αž·αž„αž€αž»αŸ†αž–αŸ’αž™αžΌαž‘αŸαžš
αž’αŸ’αž“αž€αž’αžΆαž…αžŸαŸ’αžŠαžΆαž”αŸ‹αžŸαŸ€αžœαž—αŸ…αž‡αžΆαžŸαŸ†αž‘αŸαž„αžŠαŸ‚αž›αž”αžΆαž“αž‘αž·αž‰αž“αŸ…αž€αŸ’αž“αž»αž„ Google Play αžŠαŸ„αž™αž”αŸ’αžšαžΎαž€αž˜αŸ’αž˜αžœαž·αž’αžΈαžšαž»αž€αžšαž€αžαžΆαž˜αž’αŸŠαžΈαž“αž’αžΊαžŽαž·αžαž€αŸ’αž“αž»αž„αž€αž»αŸ†αž–αŸ’αž™αžΌαž‘αŸαžšαžšαž”αžŸαŸ‹αž’αŸ’αž“αž€αŸ”
eReaders αž“αž·αž„β€‹αž§αž”αž€αžšαžŽαŸβ€‹αž•αŸ’αžŸαŸαž„β€‹αž‘αŸ€αž
αžŠαžΎαž˜αŸ’αž”αžΈαž’αžΆαž“αž“αŸ…αž›αžΎβ€‹αž§αž”αž€αžšαžŽαŸ e-ink αžŠαžΌαž…αž‡αžΆβ€‹αž§αž”αž€αžšαžŽαŸαž’αžΆαž“β€‹αžŸαŸ€αžœαž—αŸ…αž’αŸαž‘αž·αž…αžαŸ’αžšαžΌαž“αž·αž€ Kobo αž’αŸ’αž“αž€αž“αžΉαž„αžαŸ’αžšαžΌαžœβ€‹αž‘αžΆαž‰αž™αž€β€‹αž―αž€αžŸαžΆαžš αž αžΎαž™β€‹αž•αŸ’αž‘αŸαžšαžœαžΆαž‘αŸ…β€‹αž§αž”αž€αžšαžŽαŸβ€‹αžšαž”αžŸαŸ‹αž’αŸ’αž“αž€αŸ” αžŸαžΌαž˜αž’αž“αž»αžœαžαŸ’αžαžαžΆαž˜β€‹αž€αžΆαžšαžŽαŸ‚αž“αžΆαŸ†αž›αž˜αŸ’αž’αž·αžαžšαž”αžŸαŸ‹αž˜αž‡αŸ’αžˆαž˜αžŽαŸ’αžŒαž›αž‡αŸ†αž“αž½αž™ αžŠαžΎαž˜αŸ’αž”αžΈαž•αŸ’αž‘αŸαžšαž―αž€αžŸαžΆαžšβ€‹αž‘αŸ…αž§αž”αž€αžšαžŽαŸαž’αžΆαž“αžŸαŸ€αžœαž—αŸ…β€‹αž’αŸαž‘αž·αž…αžαŸ’αžšαžΌαž“αž·αž€αžŠαŸ‚αž›αžŸαŸ’αž‚αžΆαž›αŸ‹αŸ”