Menjunjung tinggi titah orang tua di atas segalanya, adalah yang dienyam oleh Tarih sebagai anak tunggal. Hal itulah yang menjadi musabab, perempuan muda itu tak bisa mengenyam pendidikan lebih tinggi setelah lulus SMP. Ayah Tarih, Ki Darpan, yang ingin mencari penerus ilmu perdukunannya, ingin menurunkan keilmuannya itu kepada siapa yang menjadi suami Tarih. Ibu Tarih, Mbok Rumi yang sudah memiliki wawasan ke depan tentang kebahagiaan anaknya, kerap bertentangan dengan misi sang suami. Hal inilah yang menjadi konflik pada keluarga Tarih.
Menapaki usia 15 hingga 18 tahun, terbangun benang-benang asmara para diri Tarih. Danang adalah lelaki yang menjadi tambatan cinta Tarih. Sayangnya, ibunda Danang tak memberikan lampu hijau bagi putranya itu untuk menjalin asmara dengan sang penari. Alasan awalnya, Tarih bukan insan berpendidikan, tidak setaraf dengan Danang yang lulusan perguruan tinggi. Alasan yang bukan sesungguhnya itu akhirnya terbongkar. Ibunda Danang pernah menjalin asmara dengan ayahanda Tarih, inilah yang menyebabkan restu sang ibunda tak pernah turun.
Kisruh pandangan hidup dan asmara orang tua adalah hal yang mengungkung proses kehidupan Tarih. Menjalani takdir dengan ikhlas dan berusaha menjadi lebih baik, dua hal yang seriing sejalan dijadikan arah langkah kehidupan. Kalimat klise “Cinta tak harus memiliki”, dicoba diterapkan dalam menggapai jodoh yang dinanti. Memutus asmara yang sudah mengkristal, Tarih berani melakukannya demi menggapai keharmonisan keluarga. Belajar jatuh cinta kepada lelaki yang tak meninggalkan jejak benang kusut terhadap keluarga, keputusan yang diambil Tarih.
Tarih mengakhiri asmaranya yang sudah lama bersemayam dalam raga. Ia juga mengakhiri kepenariannya karena syarat penari sintren adalah “perempuan belia yang masih perawan”. Mantan penari sintren itu membangun mahligai rumah tangga bukan dengan lelaki yang lama mengisi derai-derai asmara di hatinya. Ia lebih mengedepankan ketentraman masa mendatang, bukan cinta yang terbalut gulita masa lalu.
Casminih Tapip. Lahir pada 14 Agustus 1967 di Indramayu. Ibu dari dua anak lelaki ini sangat gemar menulis. Tulisannya berupa karya fiksi dan nonfiksi kerap dimuat di media massa. Selain telah menghasilkan 20 buku bersama penulis lain, dia juga berkarya sebagai penulis tunggal. Buku pertama sebagai penulis tunggal “Saya Berani Berdebat” (2017). “Bisik Rembulan pada Gemintang (Kumpulan Cerita Pendek)” (2017) merupakan buku keduanya. Buku ketiganya “Bahtera di Riak Samudra (Antologi Puisi)” (2018). “Ragam Teks Bahasa Indonesia” (2019), buku keempatnya. “Selendang Sintren” (2020) adalah buku tunggalnya yang kelima. Profesi kesehariannya, seorang guru Bahasa dan Sastra Indonesia di SMAN 1 Sukaresmi Cianjur. Ada bongkahan rasa bahagia bersemayam di jiwa karena profesi guru mengkristal dalam raga. Rasa syukur yang tumbuh menggunung tak hingga, itulah tuturan sebagai hamba kepada Sang Pencipta atas segala pemberian-Nya.