Kulihat kulihat bibir Damar yang memucat dan baju Damar yang basah kuyup sementara sore menjelang Maghrib itu cuaca sedang cerah.
Aku celingukan mencari sepeda onthel anakku yang biasanya digunakannya untuk pulang pergi ke sekolah. Nihil, sepedanya tidak ada.
“Hei, kok diam saja. Sepedamu mana?”
Damar tetap terdiam dan hanya memandangiku dengan ekspresi yang sulit kulukiskan.
“Hm, ya sudah. Ayo masuk, Sayang!”
Aku membelai pipinya dan menarik tangannya pelan. Ya Tuhan, dingin sekali anak ini.
“Kenapa kamu sudah pulang, Sayang? Kamu katanya PERSAMI?” tanyaku bingung.
Segera kuambil kan handuk dan ku panaskan air di teko.
“Nggak jadi PERSAMI?” tanyaku sambil menambahkan gula dan teh celup ke dalam cangkir.
Damar hanya menganggukkan kepalanya lemah.