Ana Nadhya Abrar menekankan perlunya media pers dan wartawannya mengevaluasi tata kelola jurnalisme politik masing-masing. Dia mengajak wartawan agar mendidik diri sendiri untuk melakukan tata kelola jurnalisme politik yang baik dan benar. Ajakan ini seperti memperoleh momentum, terutama karena media pers seolah-olah ikut memengaruhi eskalasi perseteruan antara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kepolisian Republik Indonesia (Polri) 2015. Media pers seakan-akan terlibat dalam meramaikan kegaduhan politik akibat perseteruan KPK dan Polri 2015. Lebih dari itu, media pers seolah-olah membiarkan saja rumor sebagai trik dalam politik. Padahal, rumor, seperti disebut Seno Gumira Ajidarma, merupakan “wacana tak resmi dan tak bersumber, yang berkembang beberapa tahap dalam sistem komunikasi”.
Mengelola jurnalisme politik bermakna menjadikan proses jurnalisme politik berorientasi pada penyediaan informasi politik yang menjadikan khalayak punya pilihan-pilihan politik yang rasional. Satu bab dalam buku ini, yakni Bab VII, membahas dua model tata kelola jurnalisme politik, sedangkan bab-bab lain mendiskusikan rasionalitas yang mendukung penjelasan yang terdapat di dalam bab tersebut. Dengan komposisi penjelasan seperti itu, harapannya sangat tegas: semoga buku ini bisa menjadi pegangan bagi mereka yang sudah menjadi wartawan politik dan mereka yang sedang membangun kemampuan menulis berita politik.
Ana Nadhya Abrar lahir di Bukittinggi, 20 Februari 1959. Dia mulai mengenal jurnalisme tahun 1982, saat mengikuti Kursus Jurnalistik Tingkat Dasar yang diadakan oleh Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Bukittinggi. Kemudian dia berkuliah di Jurusan Publisistik UGM. Tahun 1994 dia memperoleh gelar M.E.S. dalam Jurnalisme Lingkungan Hidup dari York University, Toronto, Kanada. Enam belas tahun kemudian, persisnya tahun 2010, dia memperoleh gelar Ph.D. dalam jurnalisme dari Universiti Malaya, Kuala Lumpur, Malaysia.
Pengalaman praktik jurnalisme Abrar sudah dimulai tahun 1983, sewaktu dia menjadi reporter tabloid politikEksponen. Kemudian dia menjadi Pemimpin Redaksi Majalah Mahasiswa Fisipol UGM Sintesa, tahun 1984. Pada tahun yang sama dia juga menjadi Ketua Dewan Redaksi Majalah Mahasiswa UGM Balairung. Dia malah pernah melamar menjadi wartawan di harian Jawa Pos pada Maret 1998. Setelah melalui penyaringan tiga tahap, dia dinyatakan lulus dan berhak mengikuti pendidikan untuk menjadi wartawan Jawa Pos. Namun, kesempatan itu tidak dimanfaatkannya. Ibunya lebih suka dia menjadi dosen daripada menjadi wartawan. Dia mematuhi saran ibunya. Lalu, sejak Maret 1998 dia menjadi dosen di almamaternya, Jurusan Ilmu Komunikasi UGM.
Kerinduan Abrar untuk mempraktikkan jurnalisme terpuaskan juga dengan jabatannya sebagai Pemimpin RedaksiBerita Kagama (1990–1997) dan Pemimpin Redaksi Kabar UGM (2002–2009). Memang tingkat kesulitan menjadi pemimpin redaksi di kedua media internal ini tidak setinggi kesulitan menjadi pemimpin redaksi media pers umum. Namun, tetap saja Abrar harus merealisasikan segala pengetahuan dan pengalamannya di bidang jurnalisme.
Sekalipun sudah memegang gelar Ph.D. dalam jurnalisme, Abrar tetap mempraktikkan jurnalisme. Namun, kini dia mempraktikkan dalam penulisan biografi dan profil lembaga. Tegasnya, dia menggunakan teknis jurnalisme dalam menulis biografi dan profil lembaga. Hasilnya? Sejak tahun 2010 hingga buku ini terbit, dia telah menulis 3 biografi, 1 obituari, 3 profil lembaga, dan 1 autobiografi.
Selain memiliki pengalaman dalam praktik jurnalisme, Abrar juga punya pengalaman di bidang administrasi di UGM. Dia pernah menjadi: (i) Ketua Jurusan Ilmu Komunikasi Fisipol UGM (April 1999–Maret 2003), (ii) Kepala Unit Humas dan Keprotokolan UGM (November 2002–Mei 2003), dan (iii) Direktur Gadjah Mada University Press (Desember 2003–Februari 2006).
Abrar, anak tertua dari empat bersaudara, punya hobi keluyuran. Dia merasa sangat senang bila bisa keluyuran, baik di dalam maupun di luar negeri. Khusus di luar negeri, dia sudah pernah keluyuran di beberapa kota besar dunia, seperti New York, Toronto, Tokyo, Paris, Beijing, Kairo, dan Bangkok.
Abrar sangat bersyukur bisa keluyuran. Dari keluyuran itu dia belajar banyak tentang kebesaran Allah. Dia puas dan rida kepada Allah atas semua rezeki yang dia terima, terutama lima orang putra-putrinya: Zafira Ayusti Abrar, Ansari Ahmad Abrar, Ahnaf Azmi Abrar, Alif Azra Abrar, dan Azalia Izzati Abrar. Dengan kelima putra-putri dan istrinya, Ariska Setyawati, dia kini tinggal dengan tenang di Perum Fisipol UGM A7, Rejodani, Sariharjo, Ngaglik, Sleman, Yogyakarta.